Share

"SBY Hanya Cari Selamat"

Stefanus Yugo Hindarto , Okezone · Selasa 30 September 2014 12:19 WIB
https: img.okezone.com content 2014 09 30 339 1046280 NyUTdQTjTK.jpg SBY Hanya Cari Selamat
A A A

JAKARTA- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku kaget dan kecewa atas hasil voting UU Pilkada.  SBY berjanji akan berupaya sekuat tenaga untuk menganulir UU Pilkada.

"Sebagai Presiden, saya berat untuk tandatangani UU ini karena merebut hak rakyat & berpotensi konflik dengan produk hukum lain, spt UU Pemda," tulis SBY dalam akun twitter @SBYudhoyono.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Namun, upaya SBY untuk menjegal UU Pilkada ini, dinilai hanyalah sebuah pencitraan. "Upaya-upaya yang dilakukan oleh Presiden SBY terkait UU Pilkada hanya usaha untuk menyelamatkan citra dirinya di akhir masa jabatan," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Rizky Argama, Selasa (30/9/2014).

Kata Rizky, ucapan SBY tentang kekecewaannya jelas tidak dapat diterima. Sebab, Presiden SBY melalui Mendagri tidak pernah menarik diri, menyatakan ketidaksetujuan, ataupun mengajukan keberatan atas gagasan pilkada tidak langsung.

Mendagri juga mewakili Presiden SBY ketika mengajukan dua opsi RUU yang masing-masing memuat mekanisme pilkada langsung dan pilkada tidak langsung untuk dibahas lanjut di Pembicaraan Tingkat II DPR.

"Dari hal itu dapat dilihat bahwa “Persetujuan Bersama” sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 sesungguhnya sudah terjadi dan telah tercapai sejak Mendagri yang mewakili Presiden menyetujui untuk mengajukan dua opsi dan memasuki Pembicaraan Tingkat II di DPR," kata dia.

Apabila benar ada kesungguhan penolakan dari Presiden SBY, kata Rizky, hal ini seharusnya disampaikan oleh Presiden SBY melalui Mendagri sebelum memasuki Pembicaraan Tingkat II di DPR. Presiden melalui Mendagri bisa menyatakan ketidaksetujuannya, menarik diri, dan menolak untuk melanjutkan ke Pembicaraan Tingkat II.

"Dalam menolak pengaturan pilkada tidak langsung, Presiden seharusnya menggunakan mekanisme dan tata cara formal yang ada, bukan dengan cara beropini di media sosial sementara wakil resminya mendukung dua opsi yang ada di DPR," ungkapnya.

Hentikan Pembahasan RUU

Rizky mengatakan, SBY pernah menghentikan pembahasan RUU. SBY menyatakan ketidaksetujuan dan menarik diri sebelum masuk ke Pembicaraan Tingkat II pada pembahasan RUU Tabungan Perumahan Rakyat pada 23 September 2014 lalu. Langkah itu akhirnya menghentikan kelanjutan pembahasan RUU tersebut.

Selain itu, keinginan Presiden SBY untuk tidak mengesahkan atau tidak menandatangani UU Pilkada merupakan tindakan yang sama sekali tidak memiliki dampak hukum terhadap keabsahan undang-undang itu. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa sebuah RUU yang telah disetujui bersama tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak persetujuan bersama itu akan tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

"Tindakan konsultasi Presiden SBY kepada Ketua Mahkamah Konstitusi juga telah mencederai prinsip independensi hakim yang diatur dalam Bangalore Principles of Judicial Conduct, acuan kode etik bagi hakim di seluruh dunia, termasuk hakim konstitusi," ungkapnya.

Permintaan konsultasi oleh SBY itu dapat dinilai telah mengganggu independensi MK sebagai lembaga peradilan. Sebagai pemegang kekuasaan yudikatif, MK harus menjaga kemandiriannya serta harus bebas dari pengaruh cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Selain itu, konsultasi antara Presiden dan MK juga memiliki potensi konflik kepentingan mengingat Presiden dapat menjadi pihak dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan pemakzulan di MK. Terlebih lagi, dalam konteks UU Pilkada, undang-undang ini jelas dapat menjadi objek permohonan pengujian di MK.

"Dalam struktur ketatanegaraan, MK juga tidak memiliki peran sebagai penasihat Presiden untuk masalah apapun," kata dia.

Dalam hal kebutuhan pertimbangan atas suatu permasalahan dalam bidang hukum, Presiden memiliki ruang untuk meminta pertimbangan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Selain itu, Presiden juga dimungkinkan untuk mengonsultasikan permasalahan hukum dengan jajaran di bawahnya, yakni Dewan Pertimbangan Presiden ataupun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sebab itu, PSHK, kata Rizky, mengajak agar masyarakat luas untuk mengajukan permohonan pengujian (judicial review) UU Pilkada kepada MK. "Kesempatan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat luas yang merasa hak konstitusionalnya dalam memilih kepala daerah telah dirugikan akibat disahkannya UU Pilkada," katanya.

(ugo)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini