Share
Cerpen

Kutinggalkan Elang di Padang Ilalang

Selasa 16 September 2014 20:03 WIB
https: img.okezone.com content 2014 09 16 551 1039822 Uq5I3nAbvj.jpg Ilustrasi (Dok Okezone)
A A A

Keburukanku. Melihat dia di pajangan poto. Mengagumi dan menghela nafas panjang. Mencoba menyusuri satu celah di wajahnya yang bisa membuat aku benci. Tapi tidak ada. Nyaris sempurna tanpa cacat. Pria yang kuidamkan dari dulu. Tepat ada di rumahku. Tidur dan makan di rumahku. Tapi dia bukan suamiku.

 

Kubangunkan diriku dari lamunan bersamanya. Aku bangkit dan bergegas mempersiapkan makanan untuk sarapan. Pria itu keluar dari pintu kamarnya. Melihatku dan tersenyum.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

“Selamat pagi, Nining.” Sapanya.

“Pagi.” Jawabku singkat.

 

Bersamaan dengan itu adikku keluar dari kamar yang sama. Dia menatap nasi goreng dan balado ikan teri kacang. Serta merta dia menarik pria itu ke meja makan dan menuangkan nasi goreng ke piring. Aku melihat tingkah adikku yang manja dengan pria yang berkulit putih dan manis itu.

 

“Kakak tidak makan?” tanyanya.

Aku kaget karena saat itu sedang memandang pria di sebelahnya.

“Nanti.” Jawabku.

 

Sebelum hatiku panas di pagi hari yang sebenarnya mendung itu, aku bergegas dari sana dan keluar. Pergi entah kemana. Ke tempat dimana tidak ada adikku, Sheila dan pria di sampingnya.

 

Ini sudah berlangsung dua tahun. Dulu pertama kali dia datang ke rumah kami. Aku menangis di malam pengantin dimana aku yang mendekorasi kamar mereka. Di saat mereka bergulat bersama kasmaran di malam-malam yang panjang. Aku justru bergulat dengan hati perihku sendiri. Pria yang bersama adikku itu adalah pria yang menjadi teman bermainku sejak kecil.

 

Pria yang mengangkatku dari kubangan lumpur kerbau saat aku jatuh ke dalamnya. Pria yang memberi aku contekan di kelas dan memberi aku pinjaman uang saat aku tidak sengaja memecahkan mangkuk bakso dan harus menggantinya.

 

Bagi pria itu, aku hanyalah temannya. Teman bermain. Dan teman yang dibantunya saat sedang kesulitan. Tidak ada rasa sedikitpun di dalam hatinya untukku. Dan rasa itu justru tumbuh mekar di dalam hati adikku. Sheila.

“Tolong beri coklat ini untuk Sheila ya.” Katanya setelah kami pulang melamar kerja.

 

“Kenapa tidak kasih sendiri,” tanyaku.

“Aku malu,” jawabnya. Seketika kuperhatikan pipinya memerah.

“Sini. Akan kukasih.” Dalam hati aku bermaksud untuk memakannya sendiri dan kubilang saja coklatnya tak sengaja kuhilangkan. Tetapi sampai di rumah aku malah tak tega melihat wajah sumringah adikku yang terus-terusan menanyakan pria itu. Akhirnya coklat itu tak jadi kumakan.

 

Dua tahun yang lalu aku masih belum yakin bahwa dia akan jadi adik iparku. Aku masih mempercayai bahwa hati yang kuat untuk mencintainya akan membawanya ke pelukanku. Tapi aku salah. Dia semakin dekat. Semakin sering ke rumahku. Mereka berdua sering terkekeh di malam minggu. Dan aku berubah dari temannya menjadi tempat penitipan salam.

 

Aku terus berjalan. Ke suatu tempat yang aku tidak tahu. Ini hari minggu. Sheila dan pria itu pasti merencanakan untuk menonton televisi di rumah. Pasti aku tak tahan dengan suara terkekeh dari bibir mereka. Aku bukan tidak senang. Hanya tidak sanggup mendengarnya. Bahwa hanya aku saja yang menderita. Bahwa hanya aku saja yang salah mencintai.

 

Di suatu tempat yang sepi di mana hanya ada rerumputan yang bergoyang ke sana ke mari dimainkan oleh angin pagi. Di langit awan semakin dekat dan berkumpul. Aku tidak takut hujan akan jatuh. Aku ingin menjatuhkan hatiku di sini dan tidak ingin membawanya pulang ke rumah.

 

Andai bisa kerobek dadaku dan mencabut nama pria itu di dalam hatiku. Kubuang rasa itu di sini. Di tempat sepi ini. Dan aku takkan ke sini lagi untuk memungutnya. Aku lelah dan bosan, Tuhan tolong tinggalkan rasaku di sini. Aku mengiba.

 

Sementara awan hitam di atas semakin tebal. Rumput semakin keras dihempas angin. Aku duduk di batang pohon yang sudah tumbang. Tempat itu tidak ada orang. Aku tidak perlu takut untuk basah. Dan takkan ada orang yang menegurku di sini.

Kemudian wajahku mulai basah. Setetes jatuh dari mataku, tapi ada tetesan lain yang bukan berasal dari wajahku. Tapi dari atas. Hujan turun. Langit ikut menangis bersamaku. Menyumbang lebih banyak lagi air yang membasahi wajahku.

 

Tuhan, bantu aku hapuskan rasa ini. Bersamaan dengan itu kulihat dari jauh ada sesosok tubuh mematung. Samar-samar dari rinai hujan kucoba telusuri wajah itu. Tubuh yang kukenal. Tapi dari penampilan yang berbeda. Pria yang berdiri itu mirip suami adikku.

 

Jangan lagi Tuhan, kumohon.

Dia berjalan mendekat. Di punggungnya ada tas besar dan dia berusaha menutup kepalanya dengan telapak tangannya. Sia-sia saja karena hujan terlanjur membasahi tubuhnya. Ketika sudah dekat. Kudapati diriku di depan seorang pria yang basah kuyup. Kami sama-sama basah oleh air hujan. Tapi segera aku sadar siapa pria di depanku itu. “Gilang” lirihku dalam kesibukan air hujan yang membuat suaraku setengah hilang.

 

“Kebetulan sekali, Wahyuningsih. Kita bertemu di bawah air hujan. Sama di saat kita berpisah dulu. “Kenapa kamu kembali.” Aku masih belum percaya. Wajah itu adalah wajah yang berada di rumahku selama ini. Tapi hati di dalamnya adalah  hati yang sudah mengembara jauh. Dan kini dia sudah pulang.

 

“Aku sudah sukses. Dan ingin berkumpul dengan Elang lagi.” dia menyebut nama pria itu.

“Lalu?”

Dia merasa heran.

“Lalu kenapa kita hanya di sini saja? Apa rumahmu baru saja dibawa hanyut air hujan?”

 

Seketika aku sadar. Aku bangkit dan mengajaknya ke rumah. Kami berjalan di bawah sinar cahaya yang pelan-pelan mulai mengambil alih bumi dari hujan yang tadi menguyur. Bersama dengan itu. Aku lupa sesuatu. Nama Elang tidak ada di hatiku. Dia tinggal di sana, di padang ilalang tadi. Dan kini Gilang memayungiku dengan tangannya. Kami sama-sama basah.

 

Oleh: Yenny Anggraini

 

Penulis adalah mahasiswi Akuntansi Universitas Malikussaleh, berdomisili di Dusun Aman, Pulokiton, Kota Juang Bireuen, Aceh.

 

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news.okezone@mncgroup.com)

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini