Share

Yogyakarta Darurat Toleransi

Fetra Hariandja , Okezone · Rabu 04 Juni 2014 14:26 WIB
https: img.okezone.com content 2014 06 04 59 993864 B72pGsJiD3.jpg
A A A

PROVINSI Daerah Khusus Yogyakarta (DIY) dikenal karena budayanya yang begitu kental. Wilayah kerajaan yang menyandang sebutan Kota Gugeg ini  juga ini dihuni penduduk asli yang sangat ramah kepada siapa pun. Tidak pandang kasta, status ekonomi, dan pendidikan untuk soal keramahan penduduknya.

Tempat nyaman dan aman pantas disematkan kepada DIY. Apalagi, daerah yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman ini memiliki berbagai objek wisata memukau. Ribuan wisatawan lokal maupun asing ingin kembali merasakan kelebihan yang dimiliki DIY ini.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Sayangnya, status nyaman dan aman yang disandang Yogyakarta mulai terusik. Sikap toleransi dan musyawarah yang dikedepankan warganya mulai terkikis. Aksi kekerasan di rumah Direktur Penerbitan Galang Press, Julius Fecisianus, Perumahan STIE YKPN No 7 Tanjungsari, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, mengusik kenyamanan Yogyakarta.

 

Aksi barbar ini terjadi karena latar belakang agama. Padahal dalam agama apapun, kekerasan untuk menyelesaikan persoalan tidak bisa dibenarkan. Republik Indonesia memiliki aturan baku yakni undang-undang (UU). Kehidupan bernegara di Indonesia diatur dalam UU.

Kekerasan yang terjadi di Slemen tentu mengejutkan berbagai pihak. Di sisi lain, perilaku brutal tersebut sepertinya kejadian biasa. Alasannya sepele, kekerasan berlatarbelakang suku, agama, ras dan golongan (SARA) kerap terjadi, namun tidak pernah diselesaikan secara tuntas.

Kita tentu masih ingat ketika Yogyakarta diistilahkan Yogyakarta Darurat Toleransi pada medio 2012. Mengerikan sekali bila Yogyakarta disebut sebagai kawasan hitam. Jangankan turis asing, wisatawan lokal pun enggan mengunjungi Yogyakarta.

Mulai terkikisnya suasana nyaman dan aman di Yogyakarta seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah setempat. Tidak ada alasan membiarkan segala bentuk kekerasan yang dilakukan sekelompok orang atas alasan SARA.

Pemerintah setempat dan aparat terkait jangan pragmatis dengan tidak bertindak untuk menyelesaikan bahaya laten ini. Jangan sesekali berucap 'Sudahlah Anda kelompok kecil nurut saja'. Sikap seperti ini tidak akan pernah mengubah keadaan dan cenderung menambah kehancuran Yogyakarta.

Mengerikan sekali ketika kekerasan atas nama agama sudah mengakar dalam hidup sosial warganya. Pasalnya, tidak dibenarkan bagi sekelompok orang menyatakan kegiatan keagamaan kubu lain melanggar atau melenceng.

Pada kenyataannya semua berbalik kepada langkah konkret pemerintah dan aparat berwenang setempat. Kehancuran Yogyakarka karena maraknya kekerasan merupakan buah pembiaran. Yogyakarta harus diselamatkan segera. Jangan sampai wilayah hitam benar-benar disandang Kota Pendidikan tersebut.

Jaga agar Yogyakarta tetap sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi. Pemerintah dan aparat setempat juga harus memastikan tidak ada status Yogyakarta Darurat Toleransi.

Sekilas lirik lagu Kla project, masih seperti dulu. Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Bila pemerintah dan aparat penegak hukum lalai, jangan harap lagu tersebut tetap enak untuk didendangkan.

(fmh)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini